Kota metropolitan yang sangat modern yang adalah ibu kota Jepang dan merupakan kota terpadat di Jepang. Berpredikat sebagai kota metropolitan terbesar di dunia ini memiliki kekayaan alam, teknologi, dan budaya yang patut dijadikan bahan pertimbangan sebagai destinasi wisata. Yuk kita longok ada apa di sana…
Day 1 : Tokyo Sightseeing
Keberangkatan saya dan beberapa teman di awal musim semi lalu membuat saya terkagum-kagum akan kota ini. Kota yang terkenal dengan sistem transportasi masal paling kompleks di dunia ini juga terkenal akan jam-jam subuknya yang padat, memang sangat modern, tapi di sisi lain mereka tetep bisa menjaga kebudayaan mereka. Di sini, tradisi dari berabad-abad lalu berdampingan dengan elemen budaya perkotaan terkini yang terus bergerak memancarkan semangat dan energi spesialnya sendiri.
ASAKUSA
Objek pertama di hari pertama yang kami sambangi adalah Asakusa. Di area ini terdapat kuil tertua di Tokyo, yaitu Sensoji Temple. Dibangun pada abad ke-7 dan rusak karena Perang Dunia II, ketika Tokyo dibom bertubi-tubi pada tahun 1944 dan 1945. Jadi yang dilihat saat ini adalah hasil renovasi, namun tetap mengikuti aslinya. Ada beberapa bangunan di area Asakusa ini selain kuil tadi, masih ada Asakusa Shrine. Nama lainnya adalah Sanja-sama, dibangun pada periode Edo, saat Tokyo diserang tahun 1945, bangunan ini selamat dari serangan udara.
Di kuil Budha ini, Anda bisa melakukan ritual doa mulai dari membasuh tangan di kolam yang sudah disediakan, membuang koin, dan membunyikan bel, hingga berdoa di kuilnya. Seselesainya berdoa, di sebelah kanan pintu kuil terdapat area meramal, dengan membayar ¥100 saja, Anda bisa membaca ramalam nasib.
Dari kuil ini, saya saya berjalan ke arah luar menyusuri Nakamise Street Shopping area. Belanja di jalanan ini pastinya akan terasa terburu-buru karena padatnya wisatawan. Di sepanjang jalanan yang tidak begitu lebar, berjajar kios-kios (kurang lebih 50 kios) menawarkan dagangannya mulai dari souvenir sampai jajanan ala Jepang.
Satu poin lagi yang terkenal dari area ini adalah Kaminarimon atau gerbang Kaminari, yaitu gerbang dengan lampion berukuran raksasa, berdiri kokoh sejak pertama kali dibangun tahun 942 oleh Tairano Kinmasa. Dari arah dalam Anda juga akan melihat dua sendal jepit besar di kiri-kanan gerbang. Sedangkan di bagian luarnya terdapat patung Fujin dan Raijin, dua patung dewa dalam agama Shinto
Sumida River
Puas jalan-jalan melihat kuil, saya melangkahkan kaki ke Sumida River. Sungguh cantik pemandangan di sini, karena kebetulan saat itu kuncup-kuncup bunga sakura sudah mulai tumbuh. Udara masih dingin, sisa-sisa salju masih terlihat di beberapa titik, menjadi keras seperti es batu yang menunggu cair. adalah sungai yang mengalir di Tokyo, Jepang. Sungai ini berasal dari percabangan Sungai Arakawa di Kita, Tokyo (Pintu Air Iwabuchi), dan bersatu dengan Sungai Shingashi yang mengalir di Prefektur Saitama. Tidak melakukan apa-apa hanya duduk di menghadap sungai sambil menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit sudah cukup mengesankan buat kami . Kapan lagi, di Jakarta tidak akan bisa saya melakukan hal ini.
Oh ya, saat berjalan ke Sungai Sumida ini, saya melihat logo Asahi Beer dalam bentuk 3 dimensi di ketinggian, dan ternyata itu adalah Asahi Beer Tower yang merupakan kantor pusat perusahaan minuman beralkohol asal Jepang ini. Di bagian atasnya terdapat restoran yang melayani makan siang dan makan malam. Bangunan ini dikenal dengan nama Flamme d'Or atau Super Dry Hall dibangun pada tahun 1989.
Semaraknya Harajuku
Selesai makan siang, kami kembali bergerak. Penasaran dengan kata Harajuku dengan semua ‘atribut’ yang dibilang nyeleneh. Akhirnya tibalah saya di sini. Bis wisata yang saya tumpangi menurunkan kami di jalan raya yang di kiri kanannya terdapat toko-toko fesyen, beberapa perempuan yang sebis dengan saya langsung antusias untuk berbelanja di sini. Tapi saya lebih memilih untuk masuk ke jalan Takeshita.
Sebuah jalan sempit yang isinya manusia semua! Jalan ini menuju stasiun JR Harajuku. Di kiri kanan jalanan terdapat toko-toko yang menjajakan berbagai barang fesyen dari yang terlihat normal hingga aneh – menurut kacamata saya. Banyak sekali anak muda nongkrong di sini, dan tentunya dengan gaya Takenoko-zoku nya mereka dong….saya jadi berpikir, bagaikan berada di acara costplay. Dan saya pun tidak membuang waktu untuk mengabadikan mereka melalui kamera saya, dan mereka ternyata senang tuh di foto, bahkan diajak foto bersama.
Malam menjelang, saya kembali ke hotel Grand Prince Hotel, New Takanawa untuk bebersih diri. Tidak ada yang spesial dari kamar saya, kecuali kamar mandinya. Berhubung toilet bowl di Jakarta hanya punya 2 tombol, flash dan washlet / jet shower, saya cukup kagum dengan berbagai tombol di toilet ini. Mulai dari pemanas tempat duduk, pemanas air, dan masih banyak lagi. Saya hitung totalnya ada 14 tombol. Wekekekek…. Antara mau ketawa karena bingung dan mau ketawa karena baru pertama kali melihat yang seperti ini. Hmm… setelah bersih baru terasa lapar… mau ke mana ya? Akhirnya saya memutuskan untuk makan malam di hotel saja, karena kaki rasanya sudah mau patah.
Tokyo Central Station
Beristirah sejenak, rupanya sudah cukup untuk melemaskan otot-otot kaki, dan rasa ingin tahu akan kehidupan malam di Tokyo membuat saya kembali bersemangat untuk jalan lagi. Kemana tujuan malam ini? Stasiun utama Tokyo!
Saat itu sudah pukul 10.30 malam dan udara sangat dingin, tapi kami tetap semangat untuk melihat sibuknya stasiun ini, dan ternyata benar, masih banyak orang hilir mudik di stasiun. Mereka adalah para pekerja yang berangkat pagi pulang malam, dan bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya menginap di hotel-hotel karena sudah ketinggalan kereta. Dan kebiasaan inilah yang akhirnya membuat pengusaha hotel menciptakan Capsule Hotel.
Kembali bicara soal Stasiun Tokyo, desainnya sangat berbeda, bangunan bergaya lama mirip Central Station Amsterdam. Tahun 2015 ini, stasiun ini merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Mungkin tua-tua keladi adalah julukan yang pas untuk stasiun ini. Bayangkan 100 tahun yang lalu, Jepang sudah membangun stasiun bawah tanah, meski mungkin tahun ini masih dengan kecepatan rata-rata, belum seperti Shinkazen saat ini dengan kecepatan super.
Stasiun Tokyo termasuk stasiun kereta api yang strategis di Tokyo. Selain berada pada wilayah bisnis Marunouchi, stasiun ini juga dekat dengan Istana Kekaisaran Jepang dan distrik komersial Ginza. Meskipun Stasiun Tokyo merupakan stasiun yang penting untuk jalur kereta api antar kota, namun stasiun ini merupakan yang kedua terbesar di Tokyo setelah Shinjuku, dan kemungkinan juga nomor dua di Jepang. Sementara stasiun kereta api tersibuk di Tokyo adalah Shinjuku dan Ikebukuro.
Beberapa toko dan kedai sudah tutup, sehingga kamijuga bingung harus mencari tempat yang asik untuk nongkrong. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel dan beristirahat, karena besok masih ada beberapa tempat yang harus dikunjungi. Apa yang saya dan teman-teman lakukan di hari ke-2? Tunggu ya cerita selanjutnya.